Rabu, 10 Juni 2015

Anamnesis

dinding bening sedingin masa lalu
membelah kita menjadi dua bagian: kau dan aku
kau, menempelkan telingamu ke dinding itu aku
menjilat-jilatnya seperti memakan es krim cone cair
yang kau bawa di pertemuan terakhir
kau dan aku dibisiknya dengan
nafas purba, dengan suara serupa rasa
sia-sia,
dengan bahasa yang entah apa

jalan yang panjang.
waktu.
satu.



Juni 2015

Iman dan Kegilaan

Lia Eden diolok-olok banyak orang karena ia percaya Jibril akan datang dengan UFO di taman Monas. Di media massa daring, kepercayaannya itu membuat orang-orang dari berbagai latar belakang agama berkomentar: Lia orang yang goblok, tolol, dan dungu. Tak hanya itu, di Facebook, keimanan Lia membuat beberapa sastrawan dan akademisi turut menyebut Lia adalah orang yang tidak waras, edan, dan gila.

Saya juga melihat dan mendengar langsung teman saya tertawa ketika berbicara mengenai hal itu. Tetapi bagi saya, dari pada reaksi atas sesuatu hal yang lucu, tawa teman saya lebih terasa sebagai olok-olok, malah terkesan seperti cara rapih menyamarkan antipati.

Lia Eden dianggap gila karena keimanan membuatnya menghubung-hubungkan antara Jibril, UFO, dan Monas. Orang-orang tidak bisa menerima kemungkinan malaikat Jibril naik piring terbang bernama UFO, apalagi turun di Monas.

Orang-orang menganggap itu tidak bisa diterima akal sehat atau tidak masuk akal. Dengan kata lain, orang-orang menganggap, hanya orang yang gila yang percaya hal irasional semacam itu.

Tetapi, sejak kapan keimanan adalah hal yang rasional? Bukankah justru karena irasional, kepercayaan bisa mendapatkan pengikut dan bahkan mempu membuat orang-orang menjadi patuh?

Seluruh keimanan sebenarnya memiliki irasonalitasnya masing-masing. Teman saya Heri mengatakan, tahyat akhir pada shalat sebenarnya juga tidak masuk akal. "Ngapain coba, duduk, ngelipet kaki, nunjuk, lalu tengok kanan-kiri?" kata Heri, seorang Islam.

Tidak hanya itu, teriak-teriak sehari lima kali dengan bahasa Arab menggunakan toa -- apalagi bervolume lebay -- juga bukan hal yang masuk akal.

Hal tersebut sama tidak masuk akalnya dengan minum-minum anggur di rumah Ibadah, ngomong dengan bilik untuk menghapus dosa, dan mencambuk-cambuk punggung sendiri.

Itu hanya beberapa contoh saja. Anda bisa temukan sendiri contoh lain yang membuktikan bahwa seluruh kepercayaan selalu menyimpan irasonalitas.

Tetapi ya memang begitulah kepercayaan. Lalu untuk apa menganggap orang lain gila hanya karena kepercayaannya? Toh, sama-sama menjalani hidup dalam hal yang tidak masuk akal. Buat apa saling menghakimi keimanan? Toh, sama-sama gila.

Jumat, 22 Mei 2015

Hatiku

Hatiku udara yang lesap
Saat kau sesak merindukannya

Hatiku langit terbuka
Saat kau di jalan panjang menuju rumahnya

Hatiku pisau
Digenggam tanganmu
Saat kau telah mencapainya



Januari 2015

Senin, 24 Februari 2014

TUBUH DUA ARWAH



(03:30 AM)
KEASINGAN ini berwarna biru. Aku melihat tubuhku satu ranjang bersama seseorang yang sama sekali tak aku kenali. Orang itu memelukku, menggenggam tanganku, dan sesekali mengecupku. Ia nampak merasa tak ada yang aneh dengan semua ini. Sedangkan aku tak sadar telah kali ke berapa ia menghabiskan malamnya di sini.

(03:15 AM)
Nyenyak baru benar-benar nyata di mataku setelah terbangun beberapa kali karena sesuatu yang tak dapat aku mengerti. Aku terbangun dengan sesak di dada dan air mata yang pecah. Pada setiap gelisah itu, aku ingin teriak. Aku ingin menjerit. Tapi entah kenapa aku tak bisa. Aku seperti kehilangan kuasa dan itu terjadi berulang kali. Tubuhku sangat tersiksa. Dan ia hanya bisa menggenggam tanganku keras-keras. Ia tak mengerti apa yang terjadi dalam diriku, persis seperti aku yang tak mengerti mengapa ia ada di sampingku.

(06:10 AM)
Aku mencium bau pagi yang dingin. Jendela kamarku yang memang selalu kubiarkan setengah terbuka, telah membuat cahaya pelan-pelan menyusup dari sela-sela gordyn yang dijilat angin. Lalu aku melihat ke kasur, dan mendapati tubuhku seperti mati. Dan ia belum juga melepaskan tangannya dari tanganku.

(06:45 AM)
Ia terbangun. Aku melihatnya mamandangi puluhan puntung rokok yang memenuhi asbak. Aku juga masih melihatnya membersihkan abu dan beberapa puntung lainnya yang berserak di lantai.

(06:48 AM)
Kemudian aku terbangun. Kini aku benar-benar berada dalam tubuhku. Ternyata aku tak benar-benar mati!

Selasa, 28 Januari 2014

Tawakal

nyaris habis udara di rekat dadamu
di saat Lalu ketika nafas tak
cukup panjang dari pada jelang
tapi esok gerimis itu akan datang lagi
kau tahu

kau tentu tahu
gerimis itu
gerimis yang tepat di titik-titik luka yang tipis
terisi sekaligus teriris

maka,
jangan berhenti untuk tidak menghianati

sebab di sana ia biarkan tubuhmu tumbuh
bunga-bunga semawar memar
yang wangi sehening darah
barangkali supaya tubuhmu jadi taman
yang tak lebih rawat dari jerat

maka,
biarkanlah ia menanamnya

dan suatu hari nanti
aku ingin di sana
aku akan ada di sana
merebah di atas cinta yang parah

lalu ketika aku temukan bunga-bunga itu semakin rekah
kau akan menjelma secercah cerah
dan aku lah yang tak akan henti-hentinya
menenun cerah itu, setipis demi setipis, dalam sajak-sajak yang
menolak pasrah


Ciputat, 14 Januari 2014

Kamis, 21 November 2013

Gadis Kecil Penjaja Wortel



Tak ada mobil yang lepas dari lambaian tangannya. Meski siang itu matahari mendidih, tangan kanannya terus melambai ke arah para pengemudi mobil di tepi jalan pintu masuk kawasan Taman Safari, Cisarua, Bogor. Sedangkan tangan kirinya memegang wortel. Cuaca panas tak membuatnya pasrah. Matanya tetap awas. Ia siaga terhadap setiap mobil yang lewat. Dan persis di sebelahnya, wortel-wortel berjajar dan sesekali disiram agar tetap segar.

Muti namanya. Ia siswi kelas lima SD Cibereum. Usianya baru 10 tahun. Sebagai penjual wortel, memang Ia tak sendirian. Tapi Ia satu-satunya pedagang yang menggunakan baju putih dan rok merah, seragam SD. Tubuhnya kurus, kulitnya coklat, dan rambutnya diikat. Orang-orang mengenalnya pendiam, tak banyak bicara.

Ketika lambaian tangannya berhasil menghentikan satu pengendara mobil, Ia buru-buru mendekatinya. Pengemudi mobil itu membeli tiga ikat wortel seharga 10 ribu rupiah. Uangnya 20 ribu. Muti tak punya kembalian. Lalu Ia cepat-cepat menukar uang ke sebuah warung di dekatnya.

Muti tinggal di desa Lembah Duhur. Dari tempatnya berjualan, desa itu berjarak sekitar satu jam jalan kaki. Kini sudah setahun Ia menjalani rutinitas sebagai penjaja wortel. Karena berjalan kaki, “awalnya sih capek banget,” kata gadis pendiam itu. “Tapi lama-lama terbiasa.”

Muti menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjajakan wortel. Senin sampai Jumat, Ia berjualan dari jam 12 siang hingga enam sore. Kalau Sabtu dan Minggu, Ia berdagang dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore, karena sekolahnya libur. Dari pekerjaan inilah Muti mendapat uang jajan. “Bisa bantu ibu juga,” katanya.

Biasanya, tepat saat sekolah bubar, Ia langsung pulang ke rumah. Setelah meletakkan tas dan mencopot sepatu, Muti langsung bergegas ke tempatnya berjualan.

Sore hari, selepas berjualan wortel, Muti menjaga adiknya yang masih berusia satu tahun, di rumah. Ia kemudian mengaji, belajar, lalu tidur sampai jam lima pagi untuk sholat dan berangkat ke sekolah yang juga berjalan kaki.

Muti anak ke dua dari tiga bersaudara. Adik Muti baru berumur satu tahun. Kakaknya kelas dua SMP. Muti sempat mengajak kakaknya berjualan wortel. Tetapi kakaknya menolak. “Dia malu,” gadis lugu itu menjawab singkat.

Orangtua Muti sebenarnya petani wortel. Tetapi ayah Muti lebih memilih menjual wortelnya ke penyetor. Itulah yang membuatnya terpaksa menjual wortel milik orang lain.

Tapi Muti juga tak selalu dapat menjajakan wortel. Ia berkerja hanya saat diminta pemilik wortel menjajakan wortelnya. Sofi adalah salah satu pemilik wortel yang berlangganan mempekerjakan Muti.

Ketika ditemui, Sofi tengah duduk di bangku kayu, seberang tempat Muti berjualan. Ia sedang mengamati Muti sambil memainkan handphonenya. Kalau perempuan berjilbab dan berkulit putih itu sedang ingin menjajakan wortelnya sendiri, katanya, “Muti cuma jualan plastik keresek aja”.

Pembeli plastiknya tak dipatok harga tertentu. Nilai satu plastik kereseknya bergantung pada keikhlasan pembeli. Satu plastik kereseknya berharga, “seikhlasnya aja,” kata Muti. “Paling besar sih orang ngasih 10 ribu.”

Muti sedih bila harus berjualan plastik keresek. Sebab jarang sekali orang membutuhkan plastik keresek. Jadi Muti akan lebih banyak mendapatkan uang bila berjualan wortel.

Kata Sofi, Muti orang yang pendiam. Tetapi diam tak berarti malas. Sofi mengakui, “dia orang yang semangat.” Itu sebabnya Sofi memilih Muti menjajakan wortelnya. Selain karena semangatnya, “pengunjung biasanya lebih tertarik membeli wortel dari anak-anak kecil,” ungkap Sofi. “Apa lagi kalau ke arab-arab-an.”

Dari usahanya berjualan wortel selama setahun, Muti paling banyak mendapatkan 30 ribu sehari. Uang yang ia dapatkan kemudian dibagi tiga. Kalau dapat 30 ribu, Muti memberi 10 ribu untuk ibunya, 10 ribu untuk jajan, sisanya untuk ditabung.

Muti mengakatan, kini tabungannya sudah 120 ribu rupiah. Tabungan itu, “buat beli sepeda,” ucapnya. Saat SMP nanti, Muti berharap, dia sudah bisa membeli sepeda dari tabungannya. Muti tak ingin berjalan kaki. Dia ingin bersepeda ke sekolah. Dia ingin sepeda membantunya, dalam menjual wortel.

Minggu, 15 September 2013

Menonton Lagu Requiem Reprise



Kalau ditanya apa lagu patah terparah dalam bahasa Indonesia, saya akan cepat menjawab “Requiem Reprise” dari Melancholic Bitch. Lagu ini mungkin nantinya akan bernasib sama dengan Gloomy Sunday: dilarang diputar karena, katanya, membuat banyak orang bunuh diri.

Requiem Reprise sebenarnya bukan versi asli. Melancholic Bitch mulanya membuat Requiem di tahun 2004 dalam album Anamnesis. Namun saat itu, nama Melbi belum banyak terdengar. Setelah album Balada Joni dan Susi pada tahun 2009 melambungkan namanya, di tahun 2013 Melbi membuat re-issue album Anamnesis yang diberi nama Re-Anamnesis. Di album inilah lagu Requiem menemukan rupa barunya.

Seperti Gloomy Sunday, Requiem Reprise dibentuk dengan nada-nada minor bertempo lambat – lebih lambat dari Requiem – dan bebunyian asing serta lirik menyayat. Nada dan tempo itulah yang membuat lagu ini menjadi lebih kuat dari versi sebelumnya, hingga secara magis mampu menghadirkan rasa, kesan, dan suasana, seolah-olah mengundang Izrail untuk berdiri di belakang kita.

Itulah alasan mengapa saya belum juga berhenti mendengarkan lagu ini, meski telah terputar berkali-kali.

Ada yang bilang, “apapun yang dilakukan secara berulang-ulang, pasti bosan juga.” Namun itu tidak berlaku buat saya. Bukannya bosan, Requiem Reprise malah memicu saya untuk mendengarkannya secara lebih kreatif.

Saya pun akhirnya menemukan cara baru: dengan Windows Media Player. Software ini memiliki opsi visuaslisasi lagu yang tengah kita dengarkan.


Kotak visual itu, jika diklik kanan akan memunculkan opsi pola bentuk apa yang ingin anda munculkan. Saya biasanya menggunakan Ambience yang random, atau Battery yang juga random. Kalau sudah dipilih, tekanlah alt+enter pada keyboard untuk membuatnya full screen.

Pola-pola visual itulah yang akan membantu anda semakin merasakan, terkesan, dan bahkan tersayat Requiem Reprise tanpa perlu mengerti makna ataupun tafsir yang mengendap di dalamnya.

Kemarin, sengaja saya menunjukkan cara itu kepada pacar. Saya ingin tahu komentarnya. Kami pun fokus menonton Requiem Reprise bersama.

Saat menonton, saya sesekali melihat jidat pacar saya berkerut seperti merasakan sebuah sensasi. Dan di akhir lagu, ia berkomentar, “serem banget. Kayak putus asa. Bikin deg-degan. Apalagi pas di bagian (liriknya): dan susunan bahasa yang kau emban... Visualnya depresi banget.”

Maka, silahkan alami sendiri sensasi gaib “Menonton Requiem Reprise”!


Catatan: menurut seorang teman, cara di atas akan lebih asik dilakukan pada saat mengonsumsi ganja atau mushroom.

Kamis, 01 Agustus 2013

Endgame: Lakon Skakmat yang Bukan Akhir

                                        Foto diambil dari twitter @killthedj

Selepas perang dunia II, setelah raksasa besar bernama Rasio menyebabkan negara-negara adikuasa dengan pongah dan serakah menggunakan nuklir dan segala teknologi mutakhir untuk ambisinya menguasai dunia, kemanusiaan mengalami tragedi darah dan air mata. Para seniman dan intelektual Perancis merasakan kembali ketakutan dan mimpi buruk.

Absurdisme kemudian banyak dipilih sebagai cara merefleksikan kenyataan. Samuel Beckett (1906-1989)penulis peraih Nobel kelahiran Irlandia yang menghabiskan separuh hidupnya di Prancis, membidani lahirnya sebuah lakon yang memukau berjudul Endgame (1957). Lakon ini bersama lakon Waiting for Godot, dianggap sebagai karya penting Beckett.

Endgame adalah lakon satu babak dengan empat tokoh yang masing-masing memiliki keganjilan fisik. Latarnya pun aneh. Di dalam sebuah rumah, ada dua tong sampah yang di dalamnya hidup manusia, lukisan yang diletakkan secara terbalik, dua jendela, serta sebuah tangga.

Bukan hanya situasi dan kondisi yang jauh dari kata logis, percakapan demi percakapan juga berjalan secara irasional. Kalimat perkalimat terdengar saling bertabrakan, bermusuhan, dan tak sejalan.

Pada tanggal 28-30 Juni lalu, di Salihara, Teater Garasi membawakan lakon tersebut dengan getir, pahit, tapi juga penuh humor. Lakon yang diterjemahkan Yudi Ahmad Tajudin itu disutradarai Landung Simatupang.

Dalam panggung, ada sebuah jendela yang tak lagi menampakkan kehidupan. Lautan, ombak, dan cahaya mercusuar tak juga tertangkap mata dari jendela yang lainnya. Hanya ada dua jendela –sudut– untuk menatap keluar. Suasana rasanya datar dan mati. Yang ada hanya suara tapak sepatu Clov, seorang pembantu yang sedikit keterbelakangan mental dan cacat fisik juga wicara.

Itulah situasi di mana Hamm, Clov, Nagg, dan Nell menjalankan kisahnya. Hamm adalah seorang majikan. Ia buta dan cacat kaki –tak bisa berdiri. Hidupnya dihabiskan di kursi roda. Clov, pembantunya, juga memiliki cacat. Ia tak bisa duduk, jalannya patah-patah seperti robot, dan bicaranya seperti keterbelakangan mental. Orangtua Hamm, Nagg dan Nell malah tak punya kaki. Mereka seumur hidup tak bisa bergerak, terjebak di dalam sebuah tong sampah.

Kamis, 25 Juli 2013

(Pacaran) Jaman Sekarang Ada Gak yang Kayak Gituuuuuu???

Sandi adalah teman saya yang muda di tahun 90an. Tengah malam, beberapa hari lalu, saya mengajaknya ngobrol lewat bbm. Tema obrolannya saya dapat begitu saja. Spontan saja. Tentang pacaran, atau barangkali tentang cinta. Mungkin juga tentang dulu dan kini. Terserah.

Saya (M): San...

Sandi (S): Wat

M: U sempat mengalami pacaran lama tanpa megang hp ga di jaman katro dulu?

S: Hahaha...

M: U ketawa untuk apa?

S: Untuk pertanyaan lu lah

M: Hmmm...

S: Kagak (sempat). Tapi banyak yang iya (sempat)...

M: Yang pernah dan gua kenal kira-kira siapa?

S: A*i

M: Hmmm...

S: Tapi jaman itu bergantung sama telepon. Bergantung banget. Tapi rasa saling percaya jelas tinggi.

M: I cuma penasaran. Pada saat itu, konsep cinta kayak gimana. Konteksnya komunikasi.


Selasa, 09 Juli 2013

Jengkel


Akhir-akhir ini pacar saya sering jengkel. Harapannya sering tak sesuai kenyataan. Bukan karena cemburu, tapi karena saya main golf melulu.

Golf yang saya maksud bukan olahraga elit dengan pendamping caddy gadis cantik nan ramping layaknya Antasari Azhar dengan Rani. Melainkan Letsgolf, sebuah permainan golf virtual yang saya dapati di Ipad keponakan saya.



Semenjak menemukan game ini seminggu lalu, hampir setiap hari saya memainkannya. Saya mendabak sibuk mengikuti turnamen di dalamnya dari kelas easy sampai hard.

Saat pertama kali memainkannya, saya teringat pada bulan puasa beberapa tahun lalu: saya dan teman-teman berjam-jam di warnet, dari sehabis Isya sampai setengah empat waktu sahur. Ketika orang beramai-ramai ke mesjid untuk tarawih, kami malah berbondong-bondong menuju warnet. Di sana kami bermain Pangya, permainan serupa Letsgolf, namun sifatnya online.

Yang menarik dari permainan semacam ini adalah saya dituntut untuk memasukan bola ke hole, namun dengan memperhitungkan faktor-faktor yang dapat mengganggu arah bola. Misalnya angin. Saat memukul, angin dapat memengarhui berubahnya arah bola. Selain itu adalah kerataan tanah, power pukulan, serta akurasi. Semuanya itu harus diperhitungkan sehingga sasaran tepat target.

Ketepatan target dapat menghasilkan HIO (istilah gamers dalam menyebut “Hole In One”). HIO berarti sekali pukul langsung masuk. Tapi hal tersebut tidak mudah. Ketepatan dalam memperhitungkan menjadi keharusan dalam mencapainya. Berkali-kali bermain, saya baru tiga kali mendapat HIO di turnamen Letsgolf. Sulit, namun menantang.

Saking serunya, saya sering lupa waktu. Pada bulan puasa itu, di warnet, rentang waktu dari Isya sampai Sahur bukanlah waktu yang lama. Inilah relativitas waktu. Perasaan asyik dapat mengubah yang lama menjadi sebentar. Kini perasaan itu saya rasakan kembali kalau nge-golf di Ipad.

Akibatnya, pacar saya pun sering jengkel. “Golf terusssssss, golf terus,” keluhnya, pertanda harapannya tak sesuai kenyataan.

Saya pun sering merasa sama dengannya. Saya yang masih berambisi untuk terus mencapai HIO dan memenangkan turnamen, seringkali mengalami kegagalan. Pukulan saya berkali-kali jauh dari hole. Kalau sudah dekat, malah bola tak jarang berbelok karena tanah yang tak rata. Padahal, perkiraan saya rasanya sudah tepat. Power dan akurasi menembak sudah pas. Namun kenyataannya tidak.

Tapi di dunia virtual ini, kenyataan (artificial) bisa saya ulang dan kemudian saya akali sampai menjadi seperti yang saya inginkan. Melesetnya pukulan tak begitu menjadi problem. Saya bisa mengulang pukulan, sampai tepat sasaran, sampai mencapai HIO. Sebab, di permainan ini, saya memiliki opsi “restart”.

Senin, 24 Juni 2013

Yang Kuingat Saat Nonton Warm

“Lelaki... dan, lelaki... dan perempuan...” di sisi panggung seorang perempuan memulai monolog menggunakan standing mic. Wajahnya datar, tapi seperti memendam hasrat. Maka dibelainya standing mic itu dengan jari-jari tangannya pelan-pelan.

Tak lama, dua laki-laki datang. Perempuan itu mengontrol permainan dengan monolognya. Dikepung dua dinding penuh sorotan lampu yang saling berhadapan, bulir-bulir keringat dengan cepat menyembul dan mengucur dari tubuh mereka.

Warm berkisah mengenai dua lelaki yang dikendalikan, dikuasai, dan dinikmati di dalam mimpi perempuan muda. Perempuan  tersebut diperankan Ine Febriyanti. Sementara dua lelaki diperankan Edward Aleman dan Wilmer Marquez.

Selama satu jam penuh, cahaya panas menyinarinya. Dua laki-laki terus menerus memperlihatkan kosa gerak akrobatik sebagai simbolisasi atas hasrat, mimpi, dan fantasi seksual yang dimantrakan perempuan itu. Detik demi detik semakin riskan. Si perempuan semakin menggebu mengungkapkan jiwanya. Tempo permainan bertambah cepat. Gerakan-gerakan mereka menantang keseimbangan, di antara keringat dan kehausan.

Tapi keringat bukanlah penghalang di pertunjukkan ini. Kelompok Rictus justru menjadikannya sebagai elemen penting untuk menghasilkan sebuah emosi. Hal tersebut nampak ketika dua lelaki melakukan gerakan yang sulit dan rumit: keduanya beberapa kali terlihat keras mempertahankan tubuhnya yang nyaris terjatuh, bahkan sempat terjatuh karena licin keringat di badannya.

Panasnya ruangan

Ketika memasuki gedung pertunjukan Teater Salihara (15/6), penonton diberikan sebotol air putih. Di dalam, tak seperti biasanya: pendingin ruangan tak menyala. Ruangan terasa panas pekat. Air putih itu dipersiapkan untuk menggantikan keringat yang mengucur. Sontak hampir seluruh penonton mencari lembaran kertas untuk disulap menjadi kipas.

Seorang penonton berujar, “namanya juga Warm.”

Lampu padam. Di panggung, dua dinding penuh lampu yang saling berhadapan menyala. Nyaris sepanjang pementasan penonton menikmati pertunjukan sambil kipasan.

Tapi nampaknya kondisi panggung lebih panas dari bangku penonton. Itu karena puluhan lampu-lampu yang tak sebentar pun berhenti menyorot. Buktinya terlihat dari keringat-keringat yang mengucur deras dari para pemain.

Selepas pertunjukan, David Bobee sang sutradara mengizinkan penonton merasakan panasnya lampu-lampu yang membakar panggung. Dengan memegang sebotol air putih, aku pun mencobanya. Tapi belum sampai semenit panas sudah terasa ganas. Aku menyerah berlama-lama.

Saat keluar dari gedung pertunjukan, udara malam itu rasanya begitu dingin. Padahal, itu karena aku sebelumnya merasakan kondisi yang jauh lebih panas. Aku masih haus. Lalu kubuka botol air minum tadi. Rupanya botol itu ikut panas. Air yang kuminum pun menjadi hangat.

Ini videonya: klik.

Sabtu, 18 Mei 2013

Sajak Perjalanan



Perjalanan l

Di sia-sia perjalanan ini
Engkau tak henti hentinya bernyanyi
Di sisa-sisa bunyi kereta api
Yang tertinggal takkan mampu kau temui
Sementara bibirmu belum juga berhenti
Mengungkap kini yang kau lewati




Perjalanan ll

Semesta tersesat pada nada nadi kita
Tepat ketika kau tenggelamkan dadamu ke dalam dadaku
Ia bergerak
Kita sempat menangkapnya
Tapi tak pernah kita mengingat bagaimana terlepasnya




Perjalanan lll

Yang fana adalah rasa, begitu sesak di rongga nafasku. Seperti melipat tempat, memepatkan waktu, yang fana adalah rasa. Sedang aku belum sempat mengisahkanmu dongeng bayang-baying burung dan anjing di dinding, yang membuat senyum anak kecil itu tumbuh bertambah teduh. Atau kau belum izinkan aku menyentuh luka dan mimpi yang akan segera kubuatnya runtuh. Tapi yang fana adalah rasa, katamu. Kita diciptanya, bukan sebaliknya. Maka kita dibunuhnya. Kemudian kita percaya seperti seorang atheis yang diam-diam berdoa.







  Mei 2013.

Kamis, 21 Maret 2013

Tuhan Tak Pernah Ikut Kuliah


Di IISIP Jakarta, kampus saya, kabarnya ada beberapa dosen yang tak akan memberi nilai A atau B kepada mahasiswanya. Isu yang beredar, menurut dosen-dosen tersebut, nilai A hanyalah untuk Tuhan, B untuk dosen, dan C untuk mahasiswa. Saya tak percaya. Saya rasa, itu hanyalah sebuah jokes.

Ini Sabtu pertama di awal perkuliahan semester genap. Di depan kelas, saya bergabung dengan tiga senior yang tengah menunggu datangnya sesosok lelaki bertubuh besar dengan kepala sedikit gundul dan memakai kacamata tebal. Lelaki itu Kristiyanto, dosen mata kuliah Penulisan Pendapat, yang akan mengajar di kelas kami. Sialnya, salah seorang dari mereka mengatakan, Kris adalah salah satu dosen yang hanya akan memberi -- paling bagus -- nilai C kepada mahasiswanya. Saya pun gusar.

Terlebih lagi, saya mengingat perkataan teman saya, Rizky. Dia bilang, selama puluhan tahun Kris mengajar, hanya ada satu mahasiswa yang pernah diberi nilai A. Mahasiswa itu adalah Netty, perempuan yang kini juga menjadi dosen di IISIP. Rizky adalah mahasiswa Kris, semester kemarin.

Saya semakin penasaran, semakin gusar. Apa itu benar? Kalau benar, bukankah usaha mahasiswa yang belajar dengan sungguh-sungguh untuk menaikkan indeks prestasinya akan menjadi sia-sia? Lagi pula, sejak kapan Tuhan mengikuti kuliah? Apakah namanya ini kalau bukan kesewenang-wenangan yang didasari atas kepercayaan yang tak masuk akal? Lebih liar lagi: jangan-jangan karena ia orang Jawa dan usianya tua, sehingga ia berlaku seperti itu? Oke, ini stereotip dan generalisir yang membahayakan.

Benang Kusut di Rambut Nadira


Nadira hanya ingin mengikat kedua benang hitam ini. Cukup satu ikatan. Satu ikatan yang menjadikannya sebuah garis panjang dan lurus membentang. Tapi bagaimana mungkin ia bisa melakukannya, jika dua helai benang itu berbentuk sebongkah bola yang rumit dan kusut seukuran kepala manusia?

Tak ada satu pun yang tahu, ini malam ke berapa. Perempuan muda itu masih dengan seksama mengamati kerumitan benang-benang di tangannya. Memegang ujungnya dengan kedua telunjuk dan ibu jari, kemudian memasukkannya satu demi satu ke celah lubang dari ribuan bahkan mungkin jutaan celah lubang yang tercipta dari rumitnya kekusutan.

Matanya terasa berat. Tapi ia tetap menjaga kewarasan, menjaga kesadaran. Nadira tak lagi pernah tertidur. Ia terjaga. Tak satu detik pun ia biarkan matanya lepas dari kerumitan ini. Tak akan ia biarkan dirinya tertidur, sebelum kekusutan ini terurai.

Telinganya seperti tuli. Ia tak lagi mendengar suara apapun kecuali degup jantung dan deru nafasnya sendiri. Nadira tak mendengarkan lagi suara sapu lidi dan kicauan burung yang menunjukkan pagi. Tak ia dengar lagi suara lengking tenggorokan orang-orang yang menunjukkan siang. Tak ia dengar lagi suara hening yang menunjukkan malam.

Ia seperti hidup dalam dimensi yang di dalamnya tak berlaku ruang dan waktu. Bahkan lapar pun tak lagi terasa. Awalnya ia merasa ini seperti hukuman. Tapi kemudian Nadira menerima dan menikmatinya seperti sebuah rutinitas keseharian. Lama kelamaan, tak ada yang aneh seluruhnya.

Siapa yang tahu: barangkali ini malam ke tiga ratus lima puluh? Malam ke tujuh ratus ribu enam puluh satu? Atau bahkan malam ke seribu dua ratus tujuh puluh juta dua? Tak ada yang tahu. Bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Lebih tepatnya tak peduli. Namun ia masih melakukan rutinitas itu: mengurai kekusutan benang-benang yang lebih tipis dari helai rambutnya, juga seperti lebih panjang dari rambutnya yang seleher. Kekusutan yang menyerupai ukuran kepala manusia.

Senin, 07 Januari 2013

Tuhan yang Dangkal


Sebuah catatan yang terinspirasi dari obrolan dengan Addis Nadira, tadi sore.
_________________________________________________________________

Aku pernah mendengar: dalam Islam, menafsir Quran dan Hadits bukanlah hal sembarangan. Manusia tak boleh memaknainya asal-asalan. Umat Islam harus memiliki metode-metode untuk melakukan penafsiran.

Kalau tidak keliru, salah satu metodenya disebut kontekstualitas. Metode ini menganggap bahwa aturan-aturan yang turun dari langit selalu sesuai dengan keperluan zaman di mana sebuah ayat diturunkan. Oleh karena itu, menafsirkannya berarti memahami juga bagaimana konteks zamannya.

Beberapa orang (yang mengklaim dirinya) Islam menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menafsirkan ulang titah langitan sesuai konteks kekinian. Misalnya, mereka menganggap bahwa khamr (minuman keras) tidak mutlak haram. Itu karena zaman rasul bercuaca panas sehingga meminumnya dapat memabukkan.

Tapi kau tak sepaham. Tuhan tak sedangkal itu, katamu. Tuhan Maha Mengetahui dan oleh karenanya, Ia mengerti rinci apa yang akan dan belum terjadi. Maka titah-Nya mutlak.

Aku hanya akan setuju denganmu jika aku memandang Tuhan hanyalah milik agama-agama. Tuhan yang tak universal. Tuhan yang begini, yang mutlak untuk agama ini. Tuhan yang begitu, yang mutlak untuk agama itu. Maka izinkan aku membicarakan Tuhan dengan leluasa, dengan membebaskan Tuhan dari kepemilikan agama-agama.

Hmmm…  aku memulainya dengan menganggap bahwa kita memang ditakdirkan hanya mampu mengenal Tuhan melalui bahasa, sampai kapan pun. Tuhan yang tertangkap kata-kata dan hal-hal visual, Tuhan yang terprediksi, terduga, dan tuntas, Tuhan yang terbahasakan, Tuhan yang kita kenal.

Maka perlu kau ingat, beberapa waktu lalu, ramalan Suku Maya sudah meleset. Itu adalah bukti bahwa kebenaran tak bisa diduga, meski coba dibahasakan. Aku pikir, membicarakan Tuhan adalah membicarakan kebenaran.

Sebab itu, ketika kau membahasakan Tuhan dengan menganggap bahwa Tuhan tak sedangkal apa yang mereka terjemahkan, pada saat itu juga kau malah mendangkalkan Tuhan itu sendiri, Kasihku!

Selasa, 01 Januari 2013

Tuhan Kita pada Sebuah Senja

sebelum senja kita terjaga
langit kosong, melongok menonton
kita yang terengah di balik cahaya
tak ada tanda tuhan berswara

tapi kita berdua
kita lantas memetakannya, menitipkan tuhan pada senja
seperti sepotong memori purba

jika dalam langit kita sendiri
kita cukup memejam mata: senja akan mengembalikan tuhan
menjadi dua: tuhan dan kita
menjadi satu: kau dan aku
menelanjangi rahasia kata-kata, pada sebuah senja



10 Desember 2012

Sabtu, 22 Desember 2012

Makan


Sebuah Catatan Harian, Lenteng Agung, Sore, 22 Desember 2012.

Ini seperti kita yang ingin makan bersama. Saat di mana kita sama-sama lapar dan butuh makan, masih sempat-sempatnya kita berdebat panjang tentang bagaimana cara memakan: dengan sendok, sumpit, atau tangan? Padahal kita benar-benar seperti sekarat yang begitu nyata butuh makan bersama.

Kau menganggap kita harus memutuskan memilih dengan cara yang mana. Ini soal etika, katamu. Tapi aku yang mungkin memang brengsek. Aku tak peduli dengan cara apa kita memakannya. Aku hanya mengerti bahwa kita sama-sama lapar, sama-sama butuh makan, dan oleh sebab itu, aku lelah dengan perdebatan panjang yang malah membawa lupa akan kita yang lapar.

Kemudian saat melihat sekitar, kita mendapati orang-orang makan bersama dengan sendok dan garpu, dengan sumpit, dengan tangan. Dinding-dinding semakin jelas berteriak seolah-olah menuntut kita agar mengikutinya. Kita disergap oleh dunia yang coba mengatur dan melibatkan dirinya pada kita.

Aku hanya tak peduli dengan cara. Aku hanya ingin kita makan bersama, dengan bagaimanapun. Perdebatan hanya membuat kita saling menyalahkan, saling memakan: kau makan aku, aku makan kau, saling mengalahkan. Bahkan kita saling mencurangi satu sama lain. Itulah perdebatan panjang tentang hal yang pendek, yang jauh lebih pendek dari kenyataan.

Pada akhirnya, sama seperti sebelumnya, kau dan aku terbawa melupakan kenyataan bahwa kita sesungguhnya lapar dan butuh makan bersama. Kita terlupa. Dan pada saatnya teringat, kita hanya bisa tertunduk mengelus dada, menahan lapar seharian.